Sore hari.
Matahari sudah mulai tenggelam. Lidya duduk termangu dikursi depan rumahnya.
Jari-jarinya mengetuk gelisah diatas meja dihadapannya. Lidya ragu, apakah ia harus mengirimkan sebuah SMS kepada Satria untuk sekedar mengobati rasa
rindunya, atau mungkin harus mengurungkan niatnya dan menahan rasa rindu
tersebut.
Satria adalah
bekas kekasih Lidya. Hubungan mereka berakhir sudah cukup lama. Namun, hubungan
mereka berakhir karna keputusan dari satu pihak, yaitu Satria. Tanpa
memperdulikan perasaan Lidya, dengan begitu saja ia pergi, dan dengan mudahnya
ia menjalin hubungan dengan teman dekat Lidya Amanda.
Setelah
berbulan-bulan lamanya, perasaan sedih masih saja berkecamuk dihati Lidya.
Hingga kini, Lidya belum bisa melupakan sosok Satria, yang masih saja ada dalam
fikirannya. Bahkan Lidya belum mampu sampai membenci pria yang telah
berkali-kali menyakitinya, dan selalu menjadi penyebab setiap air matanya.
Ia meraih
ponselnya. Lidya menggerakan tangannya untuk melihat contact Satria diBBMnya.
Ia melihat fhoto Satria dan Amanda sangat terlihat mesra, yang terpampang pada display picture di contact Satria.
Air mata Lidya merebak dimatanya yang sudah bengkak. Dalam
hati ia menjerit, menahan rasa sakit. Pandangannya sayup-sayup melihat
kesekeliling.
***
Lidya sedang
duduk ditaman kampus. Ia sedang terlihat asyik membaca novelnya.
“Lu udah dateng…”
terdengar suara dari sampingnya.
Lidya menoleh.
Memandang Nandya yang sudah duduk disebelahnya. Lidya mengangguk ringan dan
kembali meneruskan membaca novelnya. Nandya adalah teman satu kelasnya,
sekaligus sahabat terbaik Lidya.
“lu udah makan
siang belum? Kantin yu…gue laper” ucap Nandya sambil mengelus-ngelus perutnya.
“belum…yaudah yu” seru Lidya sambil menutup novelnya, dan bangkit dari tempat
duduknya.
Disepanjang jalan
menuju kantin, mereka terus mengobrol dengan topic obrolan seru mereka. Didekat kantin, mereka
berpapasan dengan Amanda. Dengan kasar Amanda berjalan hingga bahunya
bertubrukan dengan Lidya penuh kesengajaan. Matanya menatap Lidya tajam, dan
melemparkan senyum kecut kearah Lidya. “Aww…” Lidya tersontak kaget. Dahinya
berkerut heran. “harus dikasih pelajaran tuh anak!” ujar Nandya kesal, berniat
untuk menyusul Amanda. Dahinya menyerngit, mukanya merah padam. “please
udah..biarin aja” Lidya menarik lengan Nandya. “tapi—“ seru Nandya terpotong. “
ssshhh..udah gaada tapi-tapian!” tukas Lidya sambil terus menarik lengan
Nandya.
Sesampainya
dikantin Lidya dan Nandya langsung memesan makanan dan minuman. Sambil menunggu
Lidya membuka notebooknya. “liat ini na..keren ya…” ujar Lidya sambil menunjuk
fhoto blezeer pada notebooknya. “gilak..keren-keren nih, lucu juga. Harganya
juga pada murah lho..tapi sayangnya gue gasuka beli online. Di mall juga udah
ada kayanya. Nanti kapan-kapan lu anterin gue beli blezeer ini yapp” Lanjut
ceroscos Lidya. Nandya hanya mengangguk-ngangguk. Ia memang tidak mengerti jika
Lidya sudah bicara tentang fashion.
Seketika mata
Nandya melirik kearah Satria dan Amanda yang baru saja masuk kearah kantin, dan
duduk dideretan ketiga dari yang mereka tempati. Tanpa sadar Nandya terus
memperhatikan mereka. Satria dan Amanda terlihat sedang asyik mengobrol, tangan
Satria terlihat sedang menggenggam tangan Amanda.
“em lid…kita pindah
kantin yu..disini penuh” Nandya mencari alasan yang masuk akal agar Lidya mau
pindah kantin. “apaan sih lu?! Ngga-ngga.. kita udah pesen…” sahut Lidya acuh
tak acuh. Tiba-tiba seperti ada yang menggerakan kepala dan matanya untuk
melihat kebelakang. Tatapannya berhenti disana, dimana Satria dan Amanda sedang
duduk saling menggenggam tangan. Mulutnya hampir menganga, Lidya buru-buru
mengalihkan pandangannya.
Ia tercenung. Air
mata mengalir dari sudut mata Lidya. Nandya mendekatkan posisi duduknya dengan
Lidya. Nadya mengelus-ngelus rambut Lidya. Lidya tidak mampu menahan deru
tangisnya.
“udah-udah.. lu
harus move on dari cowo model kaya gitu! Lu cantik lid.. lu bisa dapetin cowo
yang lebih dari dya yang lu mau!” nandya sambil menatap nanar kearah Lidya.”tapi
nan..huhuhu…” Lidya berbicara sambil terisak tangis. Ia tergugu sambil menutup
mulutnya. Berharap tidak terdengar orang disekitarnya.”ssshhhtt..udah” Nandya
berusaha menenangkan Lidya.
***
Setelah selesai
jam kuliahnya. Lidya memasukan buku dan ballpoint, lalu memasukannya kedalam
tas. Lidya berjalan menghampiri Lidya. “gue duluan ya, gue mau mampir ketoko
buku dulu” ucap Lidya sambil menyeringai kearah Nandya. “yaudah oke..hati-hati”
sahut Nandya.
Lidya berjalan
keluar dari kelasnya. Dengan langkah yang cepat sambil menundukan kepalanya. Didekat
parkiran, Lidya bertubrukan dengan Denis teman satu kampusnya. Novel Lidya
terjatuh kebawah, dan diambilnya kembali dengan gerakan cepat.”sorry-sorry..”
ucap Lidya terburu-buru. Dengan cepat Lidya langsung pergi begitu saja.
Denis terus memandangi punggung badan Lidya
yang hilang dipintu mobil Lidya. Denis adalah pria yang mengagumi Lidya, bahkan
mungkin lebih dari itu. Denis mengaguminya sudah sejak lama. Ia tampan, pintar,
baik, dan ramah. Namun Lidya sampai sekarang belum memberikan respons yang lebih
dari sekedar status pertemanan untuk Denis. Dengan sabar Denis menunggu Lidya
hingga sekarang.
Seketika Denis
melirik kebawah, disana terdapat selembar fhoto, Denis mengambilnya, ia menatap
dengan menyelidik fhoto tersebut. “ini kan fhoto Satria..”ucapnya lirih. Dahinya berkerut
heran. Denis mebalikan fhoto itu, dibagian belakang fhoto itu tertulis:
“SATRIA I HATE
YOU…YOU MAKE HURT MY HEART!! YOU MAKE ME FALL AND DOWN… EVERYDAY YOU MAKE ME
CRY!!! BUT WHY?! I CAN’T MOVE ON FROM YOU?!:”(“
Denis mengangguk-ngangguk
perlahan. Mungkin ini yang menjadi penyebab Lidya tidak pernah merespons siapa
saja pria yang dekat dengan Lidya. Fikirnya.
***
Waktu berlalu
begitu cepat. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bahkan bulan mampu Lidya
lalui dengan baik.
Hari gelapnya
mulai menjadi terang. Air mata yang biasa ia teteskan untuk sebuah ‘kesedihan’,
kini mulai terbiasa menetes menjadi air mata ‘kebahagyaan’. Semua tidak seperti
yang ia fikirkan. Kebahagyaan yang ia dapat kini jauh dari apa yang ia
bayangkan. Semua terjadi begitu saja semenjak Lidya menjalin hubungan dengan
Denis.
Siang harinya. Lidya
ada jam pelajaran dikampusnya, begitupun dengan Denis. Seperti biasa sebelum
masuk kelas, masing-masing dari mereka selalu menyempatkan untuk mengobrol
ditaman kampus.
“hay lid…”
terdengar suara lemah dari samping Lidya. Suara itu sudah terdengar tidak asing
lagi ditelinga Lidya.
Lidya menoleh. Memandang
pria dengan siluet wajah yang tampan. Wajahnya terlihat pucat pasi, dengan
pandangan lemah kearah Lidya.” Apa kabar?” Tanya Satria dengan nada yang
terdengar masih lemah. Lidya tidak
menjawab pertanyaan Satria. Mulut Lidya menganga tidak percaya fengan kehadiran
pria yang ada dihadapannya. “ba-ba-ik..” sahut Lidya terbata-bata. “em gue..”
ada jeda yang tidak nyaman. “gue to the point aja ya. Gue mau minta maaf lid,
atas segala yang udah gue lakuin keelu. Sekarang gue sadar, ternyata Amanda ga
sebaik yang gue kira.. dan itu jauh banget sama lu lid…” terdengar nada
penyesalan. Satria kembali tertunduk lemah. Lidya hanya terdiam. Wajahnya terlihat
jelas bingung. Perasaan sedih dan iba berkecamuk dalam hatinya.
Denis bangkit
dari duduknya. “sorry man..gue sekarang udah jadi cowoknya Lidya. Apa yang
berhubungan sama Lidya berhubungan juga sama gue. Lu baru minta maaf sama Lidya
sekarang? Semana aja lu sob pas kemarin-kerin Lidya down banget karna lu?! Sekarang
kayanya udah terlambat. Masalah lu sama cewel lu Amanda, itu bukan masalah
Lidya..” cetus Denis. Satria mengangkat kepalanyaseseklai ia memandang Lidya
dan Denis. Mendengar perkataan Denis, Satria merasakan rasa asakit yang tidak
mampu untuk diutarakan. Ia menundukan lagi kepalanya.
Lidya masih
membisu. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Lidya menatap
nanar kearah Satria.
“sorry sob..gue
duluan. Sebentar lagi gue sama Lidya ada jam kuliah. Oh iya.. ini buat lu. Gue rasa
Lidya udah gabutuh lagi..” lanjut Denis, sambil mengeluarkan fhoto dari saku
celananya dan dierikan kepada Satria.
Denis dan Lidya
pun berlalu. Satria hanya bias memandangi punggung mereka yang berjlan beriringan
dan semakin menjauh. Satria masih berdiri mematung dengan selembar fhoto
ditangannya.