REBORN

Written by ulfi noviani , 22 Jul 2021 20.46

 23/7/2021

     


    Ditahun ini, saya akan mulai menulis sebuah thread yang berisi tentang permulaan saya untuk mengawali kembali sebuah karya tulis, karya fiksi maupun karya non fiksi. Dimana karya yang akan saya buat tentang kehidupan yang berbeda dari karya sebelumnya, karya kali ini akan lebih banyak menceritakan tentang kehidupan  seseorang yang sudah berumah tangga yang berbeda dari karya sebelumnya. Dimana karya kali ini berupa non fiksi, kali ini cerita pendek yang akan terbagi menjadi beberapa scene, dimana juga cerita pendek disini hanya sebuah ilusi atau ringkasan dari sebuah "novel" yang kelak akan mulai saya tulis. Hari ini saya memulai kembali menulis sebuah karya yang dimana karya tersebut merupakan karya non fiksi pertama saya. Saya sudah mendapat sebuah izin penerbitan karya ini dari orang tersebut berikut dengan orang2 bersangkutan yang ada dalam cerita tersebut. Untuk teman2 dan kerabat terdekat saya meminta dukungan yang sebesar besarnya untuk karya saya dari mulai hari ini dan seterusnya. Dan untuk teman2 yang mau mengirim kan kritik dan saran tentang karya saya, bisa langsung hubungi akun sosial media saya yang tersedia. Untuk teman-teman dan orang-orang yang mendukung saya selama ini saya ucapkan terimakasih. 



-UN-



Besar harapan, setipis keyakinan

Written by ulfi noviani , 13 Mei 2013 00.55


                                                     Besar harapan, setipis keyakinan


Pertemuanmu denganku sungguh tidak terencana. Semuanya hanya sebuah kebetulan, yang bagi tuhan dikatakan dengan ‘takdir’. Ketika kita bertemu untuk yang pertama kalinya, tidak ada percakapan diantara kita. Tidak ada sederet katapun yang terlontar dari mulut kita, bahkan untuk sekedar menyapa. Satu sama lain kita saling mengunci mulut, kelu.

Semuanya terjadi begitu saja. Kita sudah mulai berbincang dengan percakapan yang menjurus pada sebuah titik; percintaan. Kamu mulai mengisi kekosongan hatiku. Aku tidak pernah membayangkan tentang kita yang akan melangkah sampai sejauh ini. Dari mulai tidak saling mengenal, menjadi sangat dekat, bahkan hingga menjalin hubungan seserius ini.

Aku mulai berharap lebih kepadamu. Kepercayaanku, bahkan perhatianku hampir tercurah semuanya untukmu. Begitu juga dengan kamu yang membalas semuanya persis seperti apa yang aku rasakan. Keyakinanku mulai bertambah. Hingga aku merasa kamu orang yang tepat.  
Kamu menyimpan banyak kebahagiaan yang setiap harinya tak lupa untuk kamu berikan kepadaku. Banyak tawa dan canda yang sengaja kamu sisipkan pada setiap duniaku yang pernah menjadi buram ketika kamu belum berkutat didalamnya. Setiap harinya kamu selalu mengirimkan pesan singkat , yang membuatku banyak menyunggingkan senyum, meyeringai, atau mungkin tertawa gembira lazimnya orang yang sedang jatuh cinta. Kamu juga selalu menyempatkan percakapan kita melalu ponsel. Atau tidak dengan bertatap muka secara langsung itu jauh lebih membuat aku bahagia.

Jika ombak dalam sekejap dapat menghapus pasir dipinggir pantai, maka tidak jauh berbeda dengan caramu yang dapat menyapu dan merenggut kebahagiaanku begitu saja… perlahan tapi pasti…. Jika saat itu aku berpendapat kebahagiaan yang kamu berikan adalah permanen. Maka saat ini aku berpendapat… dulu aku belum terlalu jauh mengenalmu, dan belum menyelidik hingga dalam setiap bongkahan kebahagiaa pemberianmu yang ternyata mengandung luka didalamnya; semenjak kamu berubah.

Jika dahulu kamu menuntunku pada kebahagiaan.. namun sekarang kamu menyeretku untuk lebih jauh mengenal luka.. bahkan kamu sedang mengajariku tentang perihnya memperjuangkan sebuah hubungan yang tidak cukup baik. Kamu selalu saja mengatakan “baik-baik saja” kepada hubungan kita yang semakin hari semakin memburuk. Parahnya lagi.. kamu selalu menyalak jika aku mengatakan tentang perbedaan dan perubahan sikapmu yang semakin membabi buta. Bagaimana bisa sebuah hubungan dikatakan “baik-baik saja” jika kamu mulai menganggap aku tidak penting.. apa dengan jarangnya kamu meluangkan waktu untuku kamu menganggap itu baik? Atau kamu menganggap baik, ketika kamu mulai menghapus namaku dalam dunia..semesta…otak bahkan hatimu…seperti itukah? Itu semua kenyataannya. Semua yang aku ucapkan nyata dan terbukti, tapi apa kabar dengan apa yang kamu ucapkan? Sudahlah… berhenti untuk meberikan aku harapan jika nantinya hanya akan meluap begitu saja tanpa tersisa.

Perhatianmu.. waktumu… semua terkuras habis dengan alasan yang biasa kamu sebut dengan ‘kesibukan’. Hanya tersisa segelintir perhatian, bahkan untuk waktu nyaris tidak sama sekali tercurah padaku. Sehingga apa yang aku dapatkan? Hanya sebuah pengabaian yang terus menerus menjalari kehidupanku.

Dalam malam… aku berbincang dengan hatiku, namun aku masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan; Apakah aku harus terus menerus bertahan dan memperjuangkan hubungan ini? Aku tidak mendapatkan jawaban, hanya saja hati kecilku ikut memberi keputusan… jika sampai kapanpun hubungan ini tidak boleh berakhir, rasa sayangku terlalu besar. Aku belum punya kesiapan untuk mengakhiri semuanya… Aku mulai beranjak. Kali ini aku berbincang bersama tuhan.. aku luapkan semua perasaan. Aku terus merapalkan do’a yang didalamnya terselip namamu. Kepalaku menengadah keatas, dengan air mata yang terus menghujani pipi.

Ketahuilah… besar harapanku untuk semuanya kembali seperti dulu, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Tapi… tipis keyakinanku; Apakah semuanya bisa terjadi seperti apa yang aku harapkan?

Menghapus Air Mataku dengan Jarimu Sendiri (1)

Written by ulfi noviani , 27 Apr 2013 06.26


                                       Menghapus Air Mataku dengan Jarimu Sendiri  (1)

     Gemuruh suara hujan memecahkan heningnya malam. Dentuman suara jarum jam terasa berjarak dekat dengan telinga Ratna. Suara Guntur membangunkannya yang sedang setengah tertidur. Matanya mengerjap. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya meremas selimut tebal yang ia pakaikan ditubuhya. Keringat dingin mengucur diseluruh tubuh Ratna. Ketika Ratna menyentuh tubuhnya, suhu badannya naik dari sebelumnya. Suhu panas menjalar diseluruh tubuhnya. Ratna menghempaskan nafasnya berat. Perlahan ia menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya.
     Tiba-tiba ada suara bel yang terdengar nyaring hingga kekamar Ratna. Tergopoh-gopoh Ratna berjalan keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu. Bel itu ditekan berkali-kali dengan tidak sabaran. Ratna sedikit mempercepat langkahnya, sambil terus memegang kepalanya yang terasa pusing. Dengan gerakan lemah Ratna membukakan pintu rumahnya. Dihadapannya sudah berdiri seorang pria dengan badan yang basah kuyup. Badannya terlihat menggigil kedinginan. Ratna masuk kedalam rumah setengah berlari, dan kembali dengan membawa sebuah handuk ditangannya.
     “yaampun... elo ngapain ujan-ujanan?” Tanya Ratna cemas. “masuk dulu” lanjut Ratna. Mereka berjalan beriringan masuk kedalam rumah. “ngapain elo ujan-ujanan kesini?” Ratna mencoba bertanya lagi, ketika Tio sudah duduk dikursi, Ratna menatap Tio dengan heran. “kata Dena tadi elo gamasuk kampus katanya sakit, udah aja gue nengokin elo kesini sekalian pulang ngampus. Oh iya gue bawain elo bubur, makan yaa..” jelas Tio dengan menyunggingkan senyum kearah Ratna. “kenapa lu harus repot-repot nengokin gue? Elo kan tau ada pacar gue, ngga usah khawatir..” Tio menundukan kepalanya. Mendengar perkataan Ratna Tio merasakan sakit yang tak mampu untuk diutarakan. Tio memperhatikan Ratna lebih dari kekasihnya. Ia selalu ada waktu untuk Ratna kapanpun ia minta, berbeda dengan kekasihnya Rangga. Ratna pun sering mengeluhkan kepada Tio, tentang kesibukan kekasihnya itu, jarang sekali Ratna mendapat celah waktu dari Rangga. Tapi sejauh ini Ratna tidak pernah mengerti akan hal itu. Ratna tetap menyayangi dan mencintai Rangga, dan hanya menganggap Tio sebagai sahabatnya saja tidak lebih.
     “Rangga maksud lo? Bukannya Rangga selalu sibuk yana, dan ngga pernah peduliin mau elo sakit atau apa.. buktinya dia belum sempet nengok elo kan?!” Tio mengangkat kepalanya, ia berbicara sambil menatap tajam kearah Ratna. Sementara Ratna hanya tertunduk lemah. Matanya berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis. Ratna menyadari apa yang dibicarakan oleh Tio. “udahlahh... mungkin dia sibuk! Gue gapapa ko, gue baik-baik aja..” suara Ratna sangat terdengar parau. “yaampun na.. kapan elo sadar? Gue yang selalu ada buat elo, dan Rangga? Dimana pacar elo sekarang?” tukas Tio terlanjur kesal. “please Tio.. seharusnya elo ngertiin gue huhuhu..gue udah terlanjur sayang sama Rangga, please juga jangan teken gue kaya gini huhuhu…” tangisnya pun pecah, Ratna tidak bisa menahannya lagi. Ia berbicara sambil tergugu. Tio menatap Ratna dengan perasaan bersalah. Ia sangat ingin mendekap Ratna, dan menghapuskan air mata yang terus-menerus keluar dari pelupuk matanya. Tapi ia hanya mampu terdiam, karna ia tau Ratna tidak pernah menyukainya jika ia berlalu seperti itu. "udah na jangan nangis, maafin gue.. ini elo hapus air matanya, gue gamau liatnya..” Tio merogoh saku celananya, dan memberikan sapu tangan kepada Ratna. Ratna pun mengambil sapu tangan itu, sambil tersenyum kearah Tio.
     Malam semakin larut. Jarum jam menunjukan pukul 23:00. Tio masih belum pulang dari rumah Ratna. Ia khawatir jika harus meninggalkan Ratna sendirian dirumahnya. Padahal Ratna sudah tertidur pulas dikamarnya. Tio berjalan perlahan dari ruang tengah, menuju kamar Ratna.dengan gerakan hati-hati ia membukakan pintu kamar Ratna. Cahaya lampu yang remang ditambah cahaya lampu dari luar yang menerobos masuk lewat jendela kamar, langsung mengarah pada tubuh Ratna yang sedang tertidur. Dengan langkah yang hati-hati Tio Tio mendekati tempat tidur Ratna. Ia membenarkan selimut tebal yang hampir terjatuh kelantai, dan menutupinya kembali ketubuh Ratna. Angin yang cukup kencang berhembus dan langsung menerpa wajah Tio. Dengan cepat Tio menuju jendela kamar dan menutupnya dengan rapat.
                                                                                    ***
     Suara weker yang nyaring membangunkan Ratna dari tidurnya. Matanya mengerjap. Semuanya masih gelap gulita. Hanya ada cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela yang sedikit terbuka. Ia memicingkan matanya, karna cahaya dari luar yang langsung mengarah kematanya.
     Ratna meregangkan kedua tangannya. Ia meraih ponsel dimeja sebelah tempat tidurnya. Diponselnya tertulis ‘1 new message’ ini pasti Rangga. Fikirnya. Dengan gerakan cepat Ratna menekan tombol ‘read’.
     na.. maaf gue semalem ngga bisa nemenin elo sampe pagi. Gue balik dari rumah elo jam set 12 malem.srry ya.. ohiya, gimana kabar elo? Udah baikan?”

MOVE ON

Written by ulfi noviani , 22 Apr 2013 06.15



    Sore hari. Matahari sudah mulai tenggelam. Lidya duduk termangu dikursi depan rumahnya. Jari-jarinya mengetuk gelisah diatas meja dihadapannya. Lidya ragu, apakah ia harus mengirimkan sebuah SMS kepada Satria untuk sekedar mengobati rasa rindunya, atau mungkin harus mengurungkan niatnya dan menahan rasa rindu tersebut.
     Satria adalah bekas kekasih Lidya. Hubungan mereka berakhir sudah cukup lama. Namun, hubungan mereka berakhir karna keputusan dari satu pihak, yaitu Satria. Tanpa memperdulikan perasaan Lidya, dengan begitu saja ia pergi, dan dengan mudahnya ia menjalin hubungan dengan teman dekat Lidya Amanda.
     Setelah berbulan-bulan lamanya, perasaan sedih masih saja berkecamuk dihati Lidya. Hingga kini, Lidya belum bisa melupakan sosok Satria, yang masih saja ada dalam fikirannya. Bahkan Lidya belum mampu sampai membenci pria yang telah berkali-kali menyakitinya, dan selalu menjadi penyebab setiap air matanya.
     Ia meraih ponselnya. Lidya menggerakan tangannya untuk melihat contact Satria diBBMnya. Ia melihat fhoto Satria dan Amanda sangat terlihat mesra, yang terpampang pada display picture di contact Satria.
Air mata Lidya merebak dimatanya yang sudah bengkak. Dalam hati ia menjerit, menahan rasa sakit. Pandangannya sayup-sayup melihat kesekeliling.
                                                                                  ***
     Lidya sedang duduk ditaman kampus. Ia sedang terlihat asyik membaca novelnya.
     “Lu udah dateng…” terdengar suara dari sampingnya.
     Lidya menoleh. Memandang Nandya yang sudah duduk disebelahnya. Lidya mengangguk ringan dan kembali meneruskan membaca novelnya. Nandya adalah teman satu kelasnya, sekaligus sahabat terbaik Lidya.
     “lu udah makan siang belum? Kantin yu…gue laper” ucap Nandya sambil mengelus-ngelus perutnya. “belum…yaudah yu” seru Lidya sambil menutup novelnya, dan bangkit dari tempat duduknya.
     Disepanjang jalan menuju kantin, mereka terus mengobrol dengan topic obrolan seru mereka. Didekat kantin, mereka berpapasan dengan Amanda. Dengan kasar Amanda berjalan hingga bahunya bertubrukan dengan Lidya penuh kesengajaan. Matanya menatap Lidya tajam, dan melemparkan senyum kecut kearah Lidya. “Aww…” Lidya tersontak kaget. Dahinya berkerut heran. “harus dikasih pelajaran tuh anak!” ujar Nandya kesal, berniat untuk menyusul Amanda. Dahinya menyerngit, mukanya merah padam. “please udah..biarin aja” Lidya menarik lengan Nandya. “tapi—“ seru Nandya terpotong. “ ssshhh..udah gaada tapi-tapian!” tukas Lidya sambil terus menarik lengan Nandya.
     Sesampainya dikantin Lidya dan Nandya langsung memesan makanan dan minuman. Sambil menunggu Lidya membuka notebooknya. “liat ini na..keren ya…” ujar Lidya sambil menunjuk fhoto blezeer pada notebooknya. “gilak..keren-keren nih, lucu juga. Harganya juga pada murah lho..tapi sayangnya gue gasuka beli online. Di mall juga udah ada kayanya. Nanti kapan-kapan lu anterin gue beli blezeer ini yapp” Lanjut ceroscos Lidya. Nandya hanya mengangguk-ngangguk. Ia memang tidak mengerti jika Lidya sudah bicara tentang fashion.
      Seketika mata Nandya melirik kearah Satria dan Amanda yang baru saja masuk kearah kantin, dan duduk dideretan ketiga dari yang mereka tempati. Tanpa sadar Nandya terus memperhatikan mereka. Satria dan Amanda terlihat sedang asyik mengobrol, tangan Satria terlihat sedang menggenggam tangan Amanda.
     “em lid…kita pindah kantin yu..disini penuh” Nandya mencari alasan yang masuk akal agar Lidya mau pindah kantin. “apaan sih lu?! Ngga-ngga.. kita udah pesen…” sahut Lidya acuh tak acuh. Tiba-tiba seperti ada yang menggerakan kepala dan matanya untuk melihat kebelakang. Tatapannya berhenti disana, dimana Satria dan Amanda sedang duduk saling menggenggam tangan. Mulutnya hampir menganga, Lidya buru-buru mengalihkan pandangannya.
     Ia tercenung. Air mata mengalir dari sudut mata Lidya. Nandya mendekatkan posisi duduknya dengan Lidya. Nadya mengelus-ngelus rambut Lidya. Lidya tidak mampu menahan deru tangisnya.
     “udah-udah.. lu harus move on dari cowo model kaya gitu! Lu cantik lid.. lu bisa dapetin cowo yang lebih dari dya yang lu mau!” nandya sambil menatap nanar kearah Lidya.”tapi nan..huhuhu…” Lidya berbicara sambil terisak tangis. Ia tergugu sambil menutup mulutnya. Berharap tidak terdengar orang disekitarnya.”ssshhhtt..udah” Nandya berusaha menenangkan Lidya.
                                                                                       ***
     Setelah selesai jam kuliahnya. Lidya memasukan buku dan ballpoint, lalu memasukannya kedalam tas. Lidya berjalan menghampiri Lidya. “gue duluan ya, gue mau mampir ketoko buku dulu” ucap Lidya sambil menyeringai kearah Nandya. “yaudah oke..hati-hati” sahut Nandya.
     Lidya berjalan keluar dari kelasnya. Dengan langkah yang cepat sambil menundukan kepalanya. Didekat parkiran, Lidya bertubrukan dengan Denis teman satu kampusnya. Novel Lidya terjatuh kebawah, dan diambilnya kembali dengan gerakan cepat.”sorry-sorry..” ucap Lidya terburu-buru. Dengan cepat Lidya langsung pergi begitu saja.
     Denis terus memandangi punggung badan Lidya yang hilang dipintu mobil Lidya. Denis adalah pria yang mengagumi Lidya, bahkan mungkin lebih dari itu. Denis mengaguminya sudah sejak lama. Ia tampan, pintar, baik, dan ramah. Namun Lidya sampai sekarang belum memberikan respons yang lebih dari sekedar status pertemanan untuk Denis. Dengan sabar Denis menunggu Lidya hingga sekarang.
     Seketika Denis melirik kebawah, disana terdapat selembar fhoto, Denis mengambilnya, ia menatap dengan menyelidik fhoto tersebut. “ini kan fhoto Satria..”ucapnya lirih. Dahinya berkerut heran. Denis mebalikan fhoto itu, dibagian belakang fhoto itu tertulis:
     “SATRIA I HATE YOU…YOU MAKE HURT MY HEART!! YOU MAKE ME FALL AND DOWN… EVERYDAY YOU MAKE ME CRY!!! BUT WHY?! I CAN’T MOVE ON FROM YOU?!:”(“
     Denis mengangguk-ngangguk perlahan. Mungkin ini yang menjadi penyebab Lidya tidak pernah merespons siapa saja pria yang dekat dengan Lidya. Fikirnya.
                                                                               ***
     Waktu berlalu begitu cepat. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bahkan bulan mampu Lidya lalui dengan baik.
     Hari gelapnya mulai menjadi terang. Air mata yang biasa ia teteskan untuk sebuah ‘kesedihan’, kini mulai terbiasa menetes menjadi air mata ‘kebahagyaan’. Semua tidak seperti yang ia fikirkan. Kebahagyaan yang ia dapat kini jauh dari apa yang ia bayangkan. Semua terjadi begitu saja semenjak Lidya menjalin hubungan dengan Denis.
     Siang harinya. Lidya ada jam pelajaran dikampusnya, begitupun dengan Denis. Seperti biasa sebelum masuk kelas, masing-masing dari mereka selalu menyempatkan untuk mengobrol ditaman kampus.
     “hay lid…” terdengar suara lemah dari samping Lidya. Suara itu sudah terdengar tidak asing lagi ditelinga Lidya.
     Lidya menoleh. Memandang pria dengan siluet wajah yang tampan. Wajahnya terlihat pucat pasi, dengan pandangan lemah kearah Lidya.” Apa kabar?” Tanya Satria dengan nada yang terdengar masih lemah.  Lidya tidak menjawab pertanyaan Satria. Mulut Lidya menganga tidak percaya fengan kehadiran pria yang ada dihadapannya. “ba-ba-ik..” sahut Lidya terbata-bata. “em gue..” ada jeda yang tidak nyaman. “gue to the point aja ya. Gue mau minta maaf lid, atas segala yang udah gue lakuin keelu. Sekarang gue sadar, ternyata Amanda ga sebaik yang gue kira.. dan itu jauh banget sama lu lid…” terdengar nada penyesalan. Satria kembali tertunduk lemah. Lidya hanya terdiam. Wajahnya terlihat jelas bingung. Perasaan sedih dan iba berkecamuk dalam hatinya.
     Denis bangkit dari duduknya. “sorry man..gue sekarang udah jadi cowoknya Lidya. Apa yang berhubungan sama Lidya berhubungan juga sama gue. Lu baru minta maaf sama Lidya sekarang? Semana aja lu sob pas kemarin-kerin Lidya down banget karna lu?! Sekarang kayanya udah terlambat. Masalah lu sama cewel lu Amanda, itu bukan masalah Lidya..” cetus Denis. Satria mengangkat kepalanyaseseklai ia memandang Lidya dan Denis. Mendengar perkataan Denis, Satria merasakan rasa asakit yang tidak mampu untuk diutarakan. Ia menundukan lagi kepalanya.
     Lidya masih membisu. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Lidya menatap nanar kearah Satria.
     “sorry sob..gue duluan. Sebentar lagi gue sama Lidya ada jam kuliah. Oh iya.. ini buat lu. Gue rasa Lidya udah gabutuh lagi..” lanjut Denis, sambil mengeluarkan fhoto dari saku celananya dan dierikan kepada Satria.
     Denis dan Lidya pun berlalu. Satria hanya bias memandangi punggung mereka yang berjlan beriringan dan semakin menjauh. Satria masih berdiri mematung dengan selembar fhoto ditangannya.

Cinta tak terbalas (unrequited love)…

Written by ulfi noviani , 18 Apr 2013 04.44



Cinta tak terbalas (unrequited love)…
Mengagumi bahkan lebih
Belakangan ini aku mulai sering memperhatikan tingkah lakumu. Memperhatikan setiap gerak-gerikmu..
Setiap orang yang berada disekelilingmu mampu terhibur hingga tertawa, dengan setiap kata yang kamu lontarkan atau bahkan perilakumu yang menggelikan. Setiap seorang yang berpapasan denganmu, kamu selalu menyapanya dengan sopan dan ramah. Dalam ‘mading’ sekolah terpapar namamu atas peraih prestasi dibeberapa bidang. Tidak hanya itu.. kamu termasuk pria populer disekolah. Dengan siluet tampan, menarik banyak gadis yang jatuh cinta terhadapmu.
Berawal dari sekedar mengagumi.. lalu bersimpatik. Dan akhirnya rasa itu semakin hari semakin berkembang, hingga bisa dibilang menjadi sebuah ‘cinta’. Namun aku masih saja mengelak dengan hadirnya kata ‘cinta’ itu…
Apakah mungkin atau tidak? 
Banyak orang yang berkata “didunia ini tidak ada yang tak mungkin” . Tapi bagaimana dengan seorang gadis jelek yang tidak ada apa-apanya, sedangkan ia mencintai seorang pria tampan, pintar, dan baik? Apakah kata itu masih berlaku? Aku rasa tidak!
 Aku yang sama sekali tidak pantas untukmu, apakah mungkin atau tidak bisa mendapatkan balasan dari perasaan yang aku berikan untukmu? Apakah mungkin atau tidakmenggantikan posisi kekasihmu? Sudahlah.. aku tidak berharap apapun. 
Kenapa harus ada cinta jika ada luka?
Aku mengerti dan paham akan ketidak mampuan dan ketidak pantasanku untuk mencintaimu. Tapi kenapa aku bisa-bisanya jatuh cinta kepadamu? Siapa yang harus dipersalahkan? Aku? Atau kah kamu? Atau bahkan tuhan yang meberikan perasaan ini untuku? Itu tidak mungkin! Semuanya telah digariskan.
Aku tidak pernah menyesal harus mencintaimu dalam bungkam. Walaupun cinta tidak pernah tersampaikan, tapi aku bangga dengan rasa cintaku yang tulus tanpa mengharapkan sebuah balasan. Aku mengerti rasa cintaku ada dalam sebuah belenggu, yang tidak akan mungkin pernah terkuak sehingga membuat kamu tau isi hatiku.
Masih kuperhatikan kamu 
Apa kabar, kamu? Apakah kamu masih mengenalku yang setiap kali bertemu menorehkan senyum kearahmu? Ya.. mungkin kamu hanya sering melihatku, tanpa mengenal dan tau namaku.
Sedang apa kau disana? Dikursi taman duduk termangu sendirian. Aku menyaksikanmu dari sini. Apakah kau kelelahan setelah menjalani akvitas sehari-harimu? Aku bisa menebak rasa lelahmu, karena terlihat jelas dari raut wajah dan kantung matamu. Kenapa kamu hari ini? Tidak ada senyum yang tersungging dibibirrmu, bahkan tidak ada expressi ceria dari wajahmu. Sepertinya lebih dari sekedar lelah. Kau terlihat bersedih.. ya benar.
Tolong jangan tunjukan kesedihanmu. Aku terlanjur menilaimu sebagai pria yang tidak mengenal kata sedih. Dan apakah kamu tau? Melihat mu seperti ini, jauh lebih sakit dari melihatmu ketika berjalan beriringan dengan kekasihmu sambil satu sama lain bergenggaman tangan. 
Kamu yang kupandangi melalui jarak yang nyata
Setiap kali aku memandangimu, setiap kali itu juga aku merasakan jarak antar ragamu dan ragaku. Kamu sedang duduk disebuah taman, dan aku hanya bisa memperhatikanmu diselala rumput yang sedikit menutupi pemandanganku. Aku melihatmu disana.. jauh disana… aku tidak menghampirimu, karna aku paham kamu tidak sendiri disana, melainkan ditemani kekasihmu.
Kulihat adegan mesra yang kau mainkan dengan kekasihmu. Membuat hatiku tersayat, dahiku menyerngit menahan rasa sakit. Bibirku bergetar, tetes air mata mulai keluar dari pelupuk mataku.
Beruntunglah dia, seorang gadis yang kamu cintai dan sayangi setulus hatimu. Kamu mampu membuat gadis itu tertawa lepas, dan mendapat kebahagiaan darimu. Tapi aku disini? Tidak seberuntung gadis itu. Apalah arti aku untukmu? Tidak ada. Akupun tidak akan berharap banyak darimu, memandangimu dari jarak yang nyata saja aku sudah merasa bahagia.